Pada tahun-tahun lampau, narasi mengenai investasi terkungkung dalam batasan keuntungan finansial sebesar-besarnya. Namun, sejak adanya terminologi baru yakni impact investment atau kerap disebut sebagai investasi yang berdampak, praktis bisnis, industri, atau organisasi lebih menitik beratkan pada dua sisi yang imbang yaitu dampak sosial maupun lingkungan alih-alih hanya mengeruk keuntungan finansial semata.
Pernah mendengar bahwa perusahaan berkontribusi memberi kucuran beasiswa, atau mendeklarasikan diri sebagai perusahaan ramah lingkungan yang memberdayakan komunitas lokal, meregenerasi ekosistem, maupun kegiatan lain yang berdampak secara sosial jangka panjang? Perubahan tren praktik bisnis tersebut mulai dilirik, menjadi strategi utama yang mulai diterapkan oleh sebagian besar investor, dan tumbuh subur di Indonesia.
Ide-ide mengenai investasi berdampak untuk jangka waktu yang panjang telah muncul sejak 2007 yang diorganisir oleh the Rockefeller Foundation hingga menjadi sebuah wadah investasi yang utuh bernama Global Impact Investing Network (GIIN). Analis the Rockefeller Foundation, Antony Bugg-Levine dan Jed Emerson dalam bukunya yang berjudul Impact Investing Transforming How We Make Money While Making a Difference, bahwasanya transformasi sosial yang berkelanjutan perlu dikerjakan secara kolektif, tidak hanya memakai sudut pandang pelaku bisnis saja.
Melansir dari Katadata, Daniel F. Runde menyatakan bahwa investasi berdampak merupakan wajah baru dari penerapan Social Responsibility Investment (SRI) yang marak pada dekade 90an.
Impact investment merupakan seperangkat regulasi berbentuk investasi berkelanjutan yang digunakan untuk mendorong percepatan pencapaian agenda Sustainable Development Goals (SDGs) atau pembangunan berkelanjutan. Impact investment melampaui konsep CSR yang tampak seperti “penggugur kewajiban” para pelaku industri. Apa yang membuat konsep baru ini terlihat berbeda dengan program CSR?
Para pelaku skema investasi berdampak terdiri dari perusahan modal ventura (impact investor), misalnya Gates Foundation, Soros Economic Development, ataupun Ford Foundation bekerja sama dengan perusahaan rintisan dari generasi muda yang banyak menggerakan masyarakat atau komunitas untuk melakukan perubahan (impact investee). Didalamnya terdapat proses penyusunan strategi, proses, restrukturisasi, manajemen portofolio, divestasi, dan verifikasi independen dalam skema pendanaan. Sehingga praktik ini menuntut akuntabilitas dan transparansi. Mengingat cakupan yang kompleks, maka investasi berdampak ini menetapkan tolak ukur yang nyata, objek investasi benar-benar dianalisis, disyaratkan, diukur, dan dievaluasi dampaknya sebelum dana dikucurkan agar program pemberdayaan tidak sekadar isapan jempol belaka.
Menurut laporan Angel Investment Network Indonesia (ANGIN 2020) terdapat 41% dari 66 investor berdampak yang sudah berkembang di Indonesia dan tersebar ke 83 bidang usaha di sektor pendidikan, energi, layanan keuangan, makanan dan agribisnis, kehutanan dan pertahanan, serta sektor potensial lainnya.
Sederhananya, jika ada perusahaan rintisan memiliki agenda pengelolaan limbah pertanian dengan target kesetaraan gender, maka strategi dampaknya diukur dari seberapa banyak limbah yang diolah dan atau seberapa banyak perempuan yang terlibat dan diberdayakan. Hal inilah yang menjadi parameter yang dipegang oleh pemberi dana.
Jika masa mendatang keselarasan nilai antara people, profit, and planet masih dijunjung tinggi, maka instrumen penilaian portofolio maupun dampak investasi harus terus menerus diperbaharui. Bagaimana menurutmu?
|
Jakarta Office:
Jalan Taman Patra III No. 2 Kuningan, Jakarta Selatan 12950
|
|
Yogyakarta Office:
Jl. Dewi Sartika No. 9, Terban, Kec. Gondokusuman, Yogyakarta 555223
|
|
hello@pijarfoundation.org |
Mari berkolaborasi, ciptakan masa depan yang berkelanjutan & berkesetaraan!
|
|
|
Terus terhubung dengan masa depan melalui Pijar. Mari berkolaborasi, mari menjadi Pijarian!