Hadirnya kendaraan umum sejak dulu menjadi bagian penting dari berkembangnya kota-kota modern. Angkutan massal seperti kereta api, bus kota, minibus pernah menjadi kendaraan primadona untuk mendukung mobilitas kita pada masanya. Namun, saat ini ada kesan kuat bahwa kepemilikan kendaraan pribadi dipermudah ketimbang mengakses kendaraan umum yang bersifat massal.
Kemudahan akses kepemilikan kendaraan pribadi yang semakin masif ini dapat berdampak panjang. Maka kita kerap kali menjumpai kemacetan, atau berhadapan dengan tantangan lain seperti polusi udara yang semakin tebal. Jika terus menerus demikian, bagaimana kita dapat menghadirkan kota yang berkelanjutan?
Sejak 2017, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menerbitkan Peraturan Menteri No. 16 Tahun 2017 tentang pedoman pengembangan kawasan berorientasi transit. Kawasan Berorientasi Transit atau Transit Oriented Development (TOD) ini mengedepankan penataan kawasan terpadu terintegrasi meliputi kawasan pemukiman, perkantoran, perdagangan yang terhubung dihubungkan dengan simpul transit moda transportasi umum.
Pada prinsipnya pengembangan kawasan TOD ini mendorong agar manusia lebih banyak bergerak, sehingga dapat mewujudkan mobilisasi yang berkelanjutan melalui penggunaan transportasi massal dan mengupayakan tercapainya target pengurangan emisi sebesar 29% pada 2030 mendatang. Selain itu, langkah tersebut dapat mengaktifkan kembali komunitas-komunitas pejalan kaki maupun pesepeda.
Menengok penerapan TOD di Negara Lain
Bagi kalian pecinta drama Korea, tentu familiar dengan scene masyarakat yang lalu-lalang di stasiun kereta bawah tanah atau menunggu di halte bus ketika sedang berangkat pulang-pergi bekerja ataupun sekolah. Ya, negeri gingseng tersebut telah menerapkan kebijakan TOD sejak 2017 yang sejalan dengan pembangunan jaringan dan infrastruktur serta berbagai regulasi untuk menjawab tantangan angka kelahiran dan penduduk usia tua, hingga tantangan perubahan iklim masa kini.
Beberapa kota yang lumayan padat penduduk di Eropa, Amerika, atau Asia seperti Hongkong, dan Singapura juga menerapkan sistem TOD ini. Bahkan, pada kurun waktu yang lebih lama, Jepang telah menerapkan pengembangan berkelanjutan ini sejak 1972. Bagaimana dengan Indonesia?
Membenahi Tata Kota, Membenahi Transportasi Massal Kita
Pada saat ini, Jakarta sebagai pusat kawasan bisnis dan pemerintahan terbesar di Indonesia sedang berbenah untuk mewujudkan sistem TOD. Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), Commuter Line hingga bus dipilih untuk menunjang integrasi transportasi dengan wilayah aglomerasi.
Namun, apakah konsep TOD ini dapat diterapkan di kota-kota besar lainnya di Indonesia pada masa mendatang? Dalam sebuah kesempatan diskusi, Deliani Siregar, senior urban planner ITDP menyatakan pendapatnya bahwa pengembangan konsep TOD harus mempertimbangkan urgensi mobilisasi masyarakat. Urgensi penggunaan transportasi massal ini perlu memperhatikan kepadatan penduduk, karakter kota, potensi unggulan, dan masalah utama transportasi tiap-tiap daerah. Belum lagi tentang jarak tempuh dan hitung-hitungan ongkosnya.
Selain itu, penerapan konsep TOD ini perlu diimbangi dengan pembatasan kendaraan bermotor pribadi, penataan dan ata pembatasan parkir, akses yang mudah untuk transportasi tidak bermotor dan pejalan kaki, tata bangunan, serta rute yang pendek bagi pengguna moda transportasi tidak bermotor dan pejalan kaki untuk sampai di tujuannya.
Jadi, apakah kamu sudah mulai membiasakan diri naik kendaraan umum?
|
Jakarta Office:
Jalan Taman Patra III No. 2 Kuningan, Jakarta Selatan 12950
|
|
Yogyakarta Office:
Jl. Dewi Sartika No. 9, Terban, Kec. Gondokusuman, Yogyakarta 555223
|
|
hello@pijarfoundation.org |
Let’s be Pijarian, Let’s be heroes for Indonesia’s sustainable & equal future!
|
|
|
Stay connected to the future through Pijar. Let's collaborate, let's be Pijarian!