“First Mile” dan “Last Mile” untuk Transportasi Publik Efektif

Insights
Aug 24, 2023

Opini oleh Anthony Marwan Dermawan, Policy Lead  Global Future X. Pertama kali diterbitkan di Kompas.

SEKTOR transportasi menjadi kambing hitam dalam peningkatan polusi di Jakarta. Sektor ini setidaknya menyumbang 40 persen total sumber pencemaran udara yang terjadi.

Tren mobilitas DKI Jakarta juga dapat dilihat pada jam-jam tertentu. Artinya masyarakat yang tinggal di sekitar Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) akan bermobilisasi menuju dan keluar DKI Jakarta.

Badan Pusat Statistik mencatat ada lebih dari 26 juta kendaraan yang berlalu lalang di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Dari data tersebut, transportasi Jakarta didominasi kendaraan pribadi seperti mobil dan motor. Lebih jauh, pertumbuhan kendaraan di wilayah Jakarta juga cukup tinggi. Setidaknya ada 4-5 persen peningkatan jumlah kendaraan pribadi setiap tahunnya.

Pertumbuhan kendaraan pribadi di sektor ini juga berimbas pada peningkatan angka kemacetan di Jakarta. Menurut data Polda Metro Jaya pada 2022, tingkat kemacetan di DKI Jakarta pada rush hour bisa mencapai 54 persen. Hal ini juga didukung oleh index yang dikeluarkan oleh Tom Tom Traffic yang menempatkan Jakarta sebagai peringkat ke 19 kota dengan kemacetan tertinggi di dunia.

Permasalahan polusi dan kemacetan bukan hal baru di Jakarta. Mobilitas tinggi masyarakat di wilayah Jakarta dipicu statusnya sebagai kota metropolitan dan pusat perekenomian. Namun, kontribusi sektor transportasi terhadap pencemaran udara tidak dapat dilihat secara sempit. Artinya mobilitas kendaraan perlu ditelisik dari hulu ke hilir. Akses sulit transportasi publik Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini adalah work from home dan elektrifikasi kendaraan bermotor. Solusi pertama sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan skema 50 persen ASN bekerja secara hybrid.

Di sisi lain, elektrifikasi kendaraan dipercaya dapat mengurangi produksi gas rumah kaca yang sebelumnya berasal dari bahan bakar fosil. Di sektor transportasi, kebijakan-kebijakan pembangunan moda transportasi seperti Transjakarta, Mass Rapid Transit (MRT) maupun Lintas Rel Terpadu telah dilakukan. Keberadaan transportasi publik dirasa menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi di DKI Jakarta.

Meskipun demikian, keberadaan transportasi publik saat ini belum banyak mengubah perilaku masyarakat untuk berpindah dari kendaraan pribadi menuju transportasi publik. Penyebabnya adalah konektivitas dan aksesibilitas transportasi publik yang belum optimal. Aksesibilitas menjadi salah satu indikator kualitas transportasi publik bersama dengan indikator lain seperti keterjangkauan, kenyamanan dan frekuensi perjalanan.

Sebagai salah satu pengguna aktif transportasi publik di Jakarta, akses menuju dan dari transportasi umum masih belum sepenuhnya mempermudah pengguna. Lokasi transit seperti halte dan stasiun masih belum menjangkau masyarakat secara menyeluruh. Pengguna masih dipaksa untuk bepergian jauh agar dapat mengakses lokasinya.

Di sisi lain, fasilitas penunjang seperti kantong parkir maupun transportasi publik feeder juga belum tersedia. Akibatnya, banyak masyarakat yang enggan untuk beralih karena permasalahan akses ini.

Membangun transportasi publik dari First dan Last Mile

Pengembangan sistem transportasi publik membutuhkan pendekatan bottom-up atau people-centered. Masyarakat menjadi sasaran utama dalam setiap kebijakan transportasi publik. Tendensi masyarakat yang mengutamakan kenyamanan dan kecepatan mengakses transportasi publik perlu dipertimbangkan ketika merancang kebijakan.

Pada praktiknya strategi penunjang transportasi publik seperti penyediaan kantong parkir maupun feeder masih menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan. Baru-baru ini, Menteri Perhubungan Budi Karya menyebutkan bahwa belum optimalnya kinerja MRT dalam meningkatkan okupansinya juga disebabkan lemahnya pengembangan strategi first mile dan last mile.

Permasalahan ini disebabkan kurangnya perhatian pembuat kebijakan terhadap first mile dan last miles dari pengguna. Secara sederhana, first mile merujuk pada kemudahan pengguna mengakses lokasi transit transportasi publik. Sedangkan last mile berarti kemudahan pengguna menuju tujuan akhir dari lokasi transit. Keduanya merupakan bagian utama dalam sistem transportasi publik.

Sebagai ekosistem, pemahaman tersebut memungkinkan kita melihat journey pengguna yang mencakup perjalanan menuju dan dari lokasi transit hingga ketika mereka menggunakan moda transportasi publik.

Dalam beberapa riset, preferensi penggunaan transportasi publik dipengaruhi oleh dua hal, yaitu lokasi dan fasilitas dari sistem yang ada. Dari aspek lokasi, masyarakat cenderung memiliki preferensi untuk menggunakan transportasi publik apabila jarak lokasi transit dengan rumah atau tujuannya berada kurang dari 2 km.

Masyarakat akan memiliki opsi yang lebih banyak ketika menuju dan bepergian dari lokasi transit. Sedangkan aspek fasilitas mencakup kenyamanan pengguna mengganti moda transportasi, hingga menyimpan kendaraannya di lokasi transit. Transformasi sistem transportasi publik di Jakarta maupun Bodetabek perlu diperkuat dengan skema first mile dan last mile.

Pemerintah perlu meningkatkan investasi pada ekosistem transportasi publik yang lebih luas. Setidaknya ada dua solusi yang dapat dilakukan. Pertama, peningkatan kuantitas dan kualitas dari lokasi transit yang ada di Jabodetabek. Peningkatan ini ditujukan memperbanyak lokasi transit yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat serta terintegrasi dengan fasilitas–fasilitas penunjang lainnya seperti kantong parkir maupun feeder.

Pemerintah perlu menggandeng penyedia jasa angkutan kota dan Koperasi Angkutan Mikrolet untuk masuk ke dalam ekosistem yang ada. Peran mereka bisa dimanfaatkan pada area-area yang belum banyak mendapatkan akses transportasi publik. Kedua, peningkatan koordinasi dalam integrasi perencanaan sistem transportasi publik lintas wilayah.

Pemerintah DKI Jakarta bersama pemerintah daerah di sekitarnya perlu mendesain ulang Peta Jalan Transportasi Publik. Solusi ini harus mempertimbangkan keberadaan transportasi publik yang dapat menghubungkan wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Peralihan masyarakat dari kendaraan pribadi ke transportasi publik tidak mungkin terjadi apabila kita tidak mempertimbangkan kenyamanan dan kebutuhan masyarakat. Aspek first mile dan last mile harus mampu diterapkan secara menyeluruh untuk memperbaiki sistem yang selama ini sudah berjalan.

Perbaikan dalam sistem transportasi publik menjadi jawaban jangka panjang bagi pemerintah dalam mengurangi ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi. Penurunan tersebut tentu berdampak positif dalam upaya kita mengatasi permasalahan kemacetan dan polusi udara di Jakarta maupun Bodetabek.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “”First Mile” dan “Last Mile” untuk Transportasi Publik Efektif”, Klik untuk baca: https://megapolitan.kompas.com/read/2023/08/24/12010111/first-mile-dan-last-mile-untuk-transportasi-publik-efektif?page=2.

Editor : Sandro Gatra

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6

Recent Posts

Trilema Bakal Calon Presiden Indonesia 2024, Trilema Energi

Opini oleh Huud Alam, Enterprise Implementation Specialist di Zeroe dan Fellow di Global Future Fellows on Energy. Artikel pertama kali dipublikasikan oleh CNBC. Suasana jelang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 terasa semakin hangat. Masyarakat...

Towards an equitable EU–ASEAN green deal

Written by Brasukra G Sudjana, Vriens and Partners, and Cazadira F Tamzil, Pijar Foundation. Originally published in the East Asia Forum  The European Green Deal has caused concerns among emerging markets, especially ASEAN member states. The Green Deal is an array of...

Menciptakan Ekosistem Berkelanjutan bagi Cendekia-Wirausaha

Opini oleh Ruth Angela Christie Kirana, Manajer Program Lestari. Artikel dipublikasi pertama kali oleh CNBC. Jalan menuju Generasi Emas 2045 akan dipenuhi dengan disrupsi. Oleh karena itu, para pemikir muda yang berjiwa wirausaha sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan...

Reformasi Pendidikan pada Penekanan Kewirausahaan Berbasis AI

Negara-negara ekonomi menengah seperti Indonesia dikhawatirkan akan terjerat middle income trap, yakni stagnasi ekonomi yang berkaitan dengan rendahnya produktivitas. Agar lolos dari jerat middle income trap dan menjadi negara maju, Indonesia perlu meningkatkan...