Pemuda, Kritik Sosial, dan Semangat Kolaborasi

Insights
Apr 24, 2023

Opini oleh Anthony Marwan, Policy Lead di Global Future X. Pertama kali diterbitkan Kompas.

Saat ini, di era media sosial, masyarakat dapat dengan mudah menyampaikan kritik terkait kinerja pemerintah. Sejatinya, masyarakat sebagai konstituen memang diberikan ruang menyampaikan kritik terhadap para pembuat kebijakan. Namun baru-baru ini, kita dihebohkan dengan perdebatan yang terjadi antara Pemerintah Provinsi Lampung dengan Bima Yudho Saputra, pemuda yang menyampaikan kritik di media sosial mengenai stagnasi pembangunan Provinsi Lampung.

Dari perspektif demokrasi, proses kebijakan pembangunan seharusnya berjalan terbuka dan kolaboratif, menempatkan masyarakat sebagai mitra. Masyarakat di sini tentu termasuk kaum muda, yang akan menempati 60 persen porsi konstituen di Indonesia di Pemilihan Umum 2024.

Selain menyimbolkan civic space yang aktif, kritik dari warga seperti Bima merupakan komponen penting untuk mengukur kualitas desain dan implementasi kebijakan pembangunan. Kebijakan tanpa feedback loop dari masyarakat akar rumput ibarat produk yang dibuat tanpa orientasi pada pelanggan. Masyarakat, termasuk kaum muda, harus menjadi mitra pembuatan kebijakan pembangunan. Pembuat kebijakan, yang kebanyakan dari generasi senior, harus memiliki empati dan keterbukaan terhadap konstituen muda. Semangat kolaborasi antar generasi menjadi kunci agar produk-produk kebijakan publik memberikan dampak sosial yang besar.

Inovasi Teknologi dan Tantangan Pembuatan Kebijakan Kemunculan media sosial berpotensi untuk menjaring lebih banyak aspirasi. Fenomena kritik melalui media sosial seperti yang dilakukan Bima tidak lagi dipandang sebagai ancaman. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, sejatinya hal tersebut menjadi peluang untuk menumbuhkan empati sosial.

Salah satu alasan mengapa platform media sosial seperti TikTok, Instagram, atau yang lainnya digemari adalah teknologi ini memudahkan mereka memberikan aspirasi dan pandangannya. Kecepatan informasi menjadi kunci utama. Artinya, masyarakat dapat dengan cepat menerima informasi, memverifikasi, dan membagikan pandangannya.

Tentu perlu adanya upaya edukasi agar masyarakat mampu melakukan kurasi informasi tidak benar atau hoaks. Akan tetapi dalam konteks partisipasi kebijakan, hal ini merupakan sebuah kemudahan yang selama ini tidak dirasakan mereka melalui media aspirasi konvensional. Adaptasi terhadap perkembangan yang terjadi telah menjadi keniscayaan bagi revolusi tata kelola pembuatan kebijakan di Indonesia.

Perlu diyakni, tata kelola kebijakan pembangunan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi masyarakat dan aktor lainnya juga harus mampu diajak berkolaborasi dalam tata kelolanya.

Kolaborasi Pembuatan Kebijakan Pembangunan

Tata kelola pembuatan kebijakan di Indonesia harus diubah menuju sebuah tata kelola yang lebih kolaboratif. Perubahan paradigma ini berorientasi pada keterbukaan, transparansi, dan inklusivitas proses pembuatan kebijakan yang diinisiasi pemerintah. Dalam konteks ini, masyarakat yang menyampaikan kritik dan aspirasi melalui media sosial harusnya ditampung oleh pembuat kebijakan.

Di sinilah peran teknologi informasi bermain. Salah satu contoh sukses adalah pengoperasian sistem Cepat Respon Masyarakat oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk menjaring aspirasi maupun kritik pembangunan melalui berbagai kanal media. Masyarakat diajak menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk aktif berkontribusi dalam proses pembangunan daerah.

Elemen lain dalam masyakarat seperti organisasi kepemudaan, maupun sektor swasta juga dapat menjadi kolaborator bagi pembuatan kebijakan pembangunan oleh pemerintah. Setiap aktor memiliki tanggung jawab dan kemampuan yang berbeda-beda. Mereka dapat dilibatkan dalam berbagai fase mulai dari perumusan hingga pelaksanaannya di lapangan. Keterlibatan berbagai aktor dalam proses yang kolaboratif tersebut akan memberikan banyak nilai positif bagi pemerintah, di antaranya meningkatkan kualitas kebijakan pembangunan yang lebih terukur dan terarah, membangun solidaritas multisektoral untuk menjaga dan mengawasi kualitas pembangunan disekitarnya, dan membuka berbagai alternatif solusi dalam implementasi kebijakan.

Menumbuhkan Kolaborasi Melalui Empati Sosial

Salah satu ciri dalam pengaplikasian tata kelola kolaboratif adalah kemampuan pembuat kebijakan untuk mengembangkan empati sosial terhadap konstituennya. Empati sosial memberikan ruang bagi pembuat kebijakan atau pemerintah untuk membuka diri terhadap berbagai aspirasi dan kritik dari sudut pandang lain.

Artinya, pembuat kebijakan akan banyak memosisikan diri sebagai aktor lain dalam memahami akar permasalahan maupun alternatif yang mereka berikan. Harapannya, pembuat kebijakan tidak hanya merumuskan maupun melaksanakan kebijakan seperti seekor katak dalam tempurung. Akan tetapi mereka melakukan eksplorasi terhadap berbagai ide, pengalaman, dan solusi yang dimiliki pihak lain.

Empati sosial berfungsi menjadikan pemerintah atau pembuat kebijakan sebagai cermin terhadap konstituennya. Tugas mereka ialah merumuskan kebijakan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan publik. Fungsi itu hanya dapat terlaksana apabila mereka mau mengubah tata kelolanya menjadi lebih kolaboratif dan inklusif. Ke depan, apa yang dilakukan Bima maupun teman-teman lain melalui media sosial dapat membantu pemerintah membuat kebijakan pembangunan yang benar-benar dapat dirasakan masyarakat luas. Hal ini hanya terjadi bila kita menerapkan tata kelola yang kolaboratif.

Recent Posts

Trilema Bakal Calon Presiden Indonesia 2024, Trilema Energi

Opini oleh Huud Alam, Enterprise Implementation Specialist di Zeroe dan Fellow di Global Future Fellows on Energy. Artikel pertama kali dipublikasikan oleh CNBC. Suasana jelang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 terasa semakin hangat. Masyarakat...

Towards an equitable EU–ASEAN green deal

Written by Brasukra G Sudjana, Vriens and Partners, and Cazadira F Tamzil, Pijar Foundation. Originally published in the East Asia Forum  The European Green Deal has caused concerns among emerging markets, especially ASEAN member states. The Green Deal is an array of...

Menciptakan Ekosistem Berkelanjutan bagi Cendekia-Wirausaha

Opini oleh Ruth Angela Christie Kirana, Manajer Program Lestari. Artikel dipublikasi pertama kali oleh CNBC. Jalan menuju Generasi Emas 2045 akan dipenuhi dengan disrupsi. Oleh karena itu, para pemikir muda yang berjiwa wirausaha sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan...