Perempuan-perempuan dan Kiprahnya dalam Isu Lingkungan Hidup

Insights
Apr 21, 2022
Takkan ada perdamaian tanpa pembangunan yang adil; dan takkan ada perdamaian tanpa pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dalam ruang lingkup demokratis.” Wangari Maathai-2004

Narasi mengenai hubungan perempuan dengan lingkungan hidup muncul melalui istilah ekofeminisme. Istilah tersebut dicetuskan oleh Franҫoise d’Eaubonne dalam karyanya yang berjudul “Le Féminisme ou la Mort”, 1974. Istilah ekofeminis menegaskan bahwa kedudukan perempuan dan alam  bukanlah hanya sebagai objek dengan ruang lingkup domestik sebagaimana yang sering diterapkan oleh kultur patriarki yang mengakar. Melainkan sebagai subjek yang bergerak untuk menyelamatkan bumi.

Pengarusutamaan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam upaya mitigasi perubahan iklim dipertegas dengan adanya Perjanjian Paris, 2015. Keterlibatan peran aktif  perempuan dalam ranah publik menjadi diperlukan dalam upaya menemukan solusi serta pengambilan keputusan tepat dan efisien.

Mereka bergerak pada jiwa zaman yang berbeda dengan cara-cara yang berbeda pula. Namun, kiprah keempat perempuan ini bermuara pada satu tujuan yang sama, yakni menyuarakan kerusakan sembari berupaya untuk menekan laju degradasi lingkungan.

1. Rachel Carson (1907-1964)

RACHEL CARSON

Melalui tulisan yang berjudul “Silent Spring” yang terbit pada 1962, Rachel Carson menggerakkan ahli-ahli ilmu alam dan pemerintah negara-negara dunia untuk sadar bahwa penggunaan pestisida secara berlebih dapat memicu terjadinya kerusakan lingkungan global.

Saat buku tersebut terbit, usianya menginjak 50 tahun. Sebagian besar hidup, Rachel Carson mendedikasikan diri untuk meneliti biologi kelautan. Namun, di tengah gegap gempita perkembangan industri kimia setelah Perang Dunia II, Silent Spring mampu menjadi perpanjangan tangan keresahan Rachel Carson mengenai dampak obat kimia. Selain mendongkrak  mendongkrak produksi pertanian, perikanan, maupun peternakan di Amerika, Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) juga menjadi polutan dan berdampak buruk bagi organisme air, satwa tanah, bahkan burung di udara.

Meski buku yang ia tulis mendapatkan sorotan pro dan kontra, namun karyanya telah membangkitkan kepedulian terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi dan mengilhami terselenggaranya Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm pada 1972.

2. Wangari Maathai (1940-2011)

WANGARI MAATHAI

Adalah Wangari Maathai, seorang perempuan dari suku Kikuyu, Kenya bagian tengah yang mengenyam pendidikan dokter hewan dan memulai Gerakan Sabuk Hijau sejak 1977 untuk menghijaukan negaranya.

Upayanya selama berpuluh-puluh tahun untuk mengkampanyekan penanaman pohon secara komunal dalam skala nasional yang memanfaatkan pengetahuan, kearifan, dan keahlian lokal. Pada masa tersebut, Wangari melihat bahwa di negerinya sedang menghadapi krisis air yang menjelma pada bencana kekeringan, gizi buruk, kelaparan, hingga kematian. Hal tersebut guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi telah mendorong pemenuhan hak-hak manusia, keadilan dan pemerataan sosial, serta pelibatan peran seluruh gender di Kenya. Dalam kata lain, memupuk semangat Harambee atau dapat disebut dengan semangat gotong royong.

Dalam praktiknya, penanaman pohon dalam cakupan yang besar turut menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat Kenya. Selain itu, pohon-pohon yang mereka tanam tumbuh dan menghidupi masyarakat sekitar. Perempuan Naaro misalnya, bisa mendapatkan bahan bakar yang cukup. Pun erosi di lahan mereka bisa perlahan dikendalikan.

Selain mengarah pada pemberdayaan perempuan desa di akar rumput, Gerakan Sabuk Hijau juga menjangkau masyarakat untuk mewujudkan ketahanan pangan dan panen air di tingkat rumah tangga, serta merupakan bagian dari gerakan nasionalisme Kenya untuk membangun negerinya.

Berkat upaya Wangari bersama dengan masyarakat Kenya lainnya untuk menanam pohon, ia adalah sosok perempuan Afrika pertama yang diganjar  Hadiah Nobel Perdamaian atas aktivitasnya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, demokrasi, dan perdamaian pada 2004.

3. Erna Witoelar (1947-sekarang)

“Kesadaran terhadap keberlanjutan lingkungan memang sudah ada sejak tahun 80an, namun dalam praktiknya kita banyak terlambat. Saat ini, dengan adanya kampanye isu lingkungan yang luas, kerjasama dengan berbagai pihak, saya berharap ini bisa menjadi kesempatan untuk menemukan solusi yang lebih cepat dan luas.” Begitu ucap Erna Witoelar saat ditemui pada 2019 silam.

Perempuan Indonesia ini bernama lengkap Erna Anastasia Walinono. Kiprahnya dalam isu-isu lingkungan bermula dari pengalaman saat dia bekerja di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam kurun waktu 1976-1980. Menurut pandangannya, kepedulian lingkungan sejajar dengan kepedulian terhadap konsumen. Sebab, konsumen berhak untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat. Nilai-nilai tersebut selaras dengan lima soko guru dalam gerakan konsumen yang terdiri dari kepedulian terhadap masyarakat, upaya melindungi bumi, mengetahui hak konsumen, memperjuangkan keadilan, dan menggalang kekuatan bersama. Maka dari itu, ia menaruh perhatian lebih terhadap permasalahan sampah dan polusi yang diakibatkan oleh produsen.

Tidak berhenti memandang permasalahan lingkungan dari sudut pandang konsumen saja, Erna Witoelar pun melebarkan perspektifnya dengan cara terjun dalam tata kelola Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sebuah LSM lingkungan pertama terbesar di Indonesia pada dekade ‘80.

Dengan bergabungnya Erna sebagai generasi pertama di WALHI yang menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif, ia memposisikan diri sebagai jembatan sehingga lebih leluasa untuk membangun basis kerja sama dengan masyarakat, dan pemangku kebijakan. Ia juga mengembangkan sistem pendanaan bagi organisasi yang baru lahir, sebagai pondasi untuk menunjang keberlanjutan mengawal isu-isu lingkungan di Indonesia. Selain itu, ia juga aktif mengawal isu konsumen dan lingkungan di kancah internasional

Momentum penting lainnya bagi Erna adalah ketika ia bersama dengan kawan-kawan LSM lingkungan lainnya terlibat dalam penyusunan UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang tersebut mengakomodasi ide tentang peran serta masyarakat untuk pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.

4. Greta Thunberg

Pada tiap pagi paruh kedua 2018 dengan berbekal spanduk bertuliskan Skolstrejk fӧr Klimatet, Greta Thunberg, seorang pelajar dari Swedia melayangkan protes di depan gedung parlemen Swedia. Aksi tersebut dipotret oleh Michael Campanella dan diberitakan oleh The Guardian. Tindakan tersebut menjadi sorotan dunia dan menginspirasi ribuan orang dalam kampanye perubahan iklim.

Seiring berjalannya waktu, melalui pertemuan-pertemuan tingkat dunia, Greta mendesak pemimpin-pemimpin dunia untuk melakukan langkah konkret untuk menekan laju pertambahan suhu bumi,  pemanasan global, dan perubahan iklim.

Hadirnya sosok remaja perempuan seperti Greta dan peran media menyadarkan kita bahwa pemahaman terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim menjadi penting serta mendesak bagi generasi muda pada saat ini, juga untuk masa mendatang. Terlebih jika kita tidak ingin mewariskan kerusakan lingkungan yang lebih parah bagi lintas generasi.

Recent Posts

Trilema Bakal Calon Presiden Indonesia 2024, Trilema Energi

Opini oleh Huud Alam, Enterprise Implementation Specialist di Zeroe dan Fellow di Global Future Fellows on Energy. Artikel pertama kali dipublikasikan oleh CNBC. Suasana jelang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 terasa semakin hangat. Masyarakat...

Towards an equitable EU–ASEAN green deal

Written by Brasukra G Sudjana, Vriens and Partners, and Cazadira F Tamzil, Pijar Foundation. Originally published in the East Asia Forum  The European Green Deal has caused concerns among emerging markets, especially ASEAN member states. The Green Deal is an array of...

Menciptakan Ekosistem Berkelanjutan bagi Cendekia-Wirausaha

Opini oleh Ruth Angela Christie Kirana, Manajer Program Lestari. Artikel dipublikasi pertama kali oleh CNBC. Jalan menuju Generasi Emas 2045 akan dipenuhi dengan disrupsi. Oleh karena itu, para pemikir muda yang berjiwa wirausaha sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan...