Simbiosis Mutualisme Manusia dan Mesin

Insights
Mar 31, 2023

Opini oleh Ferro Ferizka, Eksekutif Direktur Pijar Foundation. Artikel pertama kali dipublikasi oleh CNBC Indonesia.

Dewasa ini, dunia dihebohkan dengan kehadiran produk-produk kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dari perusahaan teknologi OpenAI. Dua produk OpenAI yang paling menjadi sorotan saat ini adalah Dall-E dan ChatGPT.

Dall-E dapat menciptakan gambar dari perintah tertulis, sementara ChatGPT merupakan algoritma pemrosesan bahasa alami yang bisa menjadi tempat bertanya, berkonsultasi, dan berdiskusi tentang hampir semua topik. Keluaran kerja Dall-E dan ChatGPT pun menyamai atau bahkan, dalam beberapa kasus, lebih baik ketimbang kerja manusia.

Kemajuan AI yang sangat cepat ini menimbulkan kekhawatiran, utamanya bagaimana AI dapat mengambil alih pekerjaan manusia. Bahkan, studi World Economic Forum di tahun 2020 memproyeksikan bahwa hampir 1,2 miliar pekerja di dunia, atau setara dengan 50% dari ekonomi dunia, akan terdampak oleh otomatisasi dan AI dalam satu dekade ke depan.

Secara riil, di China, Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat (AS), beberapa restoran dan hotel pun telah mengganti pelayan dan petugas keamanan dengan robot. Beberapa perusahaan global pun telah menggunakan chatbot AI untuk menjawab pertanyaan pelanggan dan membantu proses penjualan.

Di tengah kekhawatiran yang ada, bagaimana seharusnya pembuat kebijakan strategis menyikapi fenomena kemunculan AI?

Manusia vs Mesin: Bukan Fenomena Baru
Manusia vs mesin sebenarnya bukan fenomena baru. Sedari dulu, naluri manusia selalu ingin achieve more with less. Artinya, mereka akan selalu mengupayakan efisiensi dan produktivitas, termasuk melalui otomatisasi.

Pada abad ke-18, revolusi industri melahirkan mesin tenun dan mesin uap yang meningkatkan efisiensi produksi tekstil. Lalu, pada awal abad ke-19, Charles Babbage dan Ada Lovelace merancang mesin komputasi mekanik analytical engine beserta algoritma, yang menjadi cikal bakal komputer yang kita pakai saat ini.

Begitupun di abad ke-20 ketika semi-konduktor dan komputer ditemukan, atau di abad ke-21 ini ketika penghitungan keuangan bisnis disederhanakan hanya dalam beberapa klik saja dalam spreadsheet.

Referensi sejarah mengajarkan bahwa selalu ada pergeseran pekerjaan dan cara hidup manusia seiring dengan kemajuan teknologi. Setiap perubahan menuntut manusia untuk cepat beralih melakukan apa yang tidak bisa dilakukan mesin.

Manusia Sebagai Mastermind dan Mesin sebagai Pekerja-nya
Bukan berarti bahwa manusia harus selalu menjadi lebih cerdas dari mesin. Apalagi, AI yang ada hari ini, sudah sangat pesat perkembangannya. ChatGPT saja tiba-tiba sudah ada versi 4.0, yang bisa melakukan riset, penalaran, penarikan kesimpulan, menulis sesuai perintah, dan bahkan menolak memberikan komentar apabila ada pertanyaan-pertanyaan yang menyimpang dari norma sosial.

Justru, manusia harus terbuka bekerja sama dengan dan memanfaatkan mesin secara efektif. Manusia sebagai mastermind, dan mesin sebagai pekerja-nya.

Di tengah kemajuan AI ini, kemampuan manusia untuk melakukan big picture thinking dan strategic communications menjadi penting agar tetap relevan di dunia kerja. Studi World Economic Forum di tahun 2018 yang dikutip di awal tulisan pun yakin bahwa manusia akan tetap relevan dengan upaya-upaya upskilling dan reskilling; manusia tidak boleh lagi bergantung pada pekerjaan-pekerjaan yang berpotensi lebih efisien dikerjakan mesin.

Kata kuncinya adalah “instruksi”. Manusia sebagai mastermind harus mampu memahami arah besar proyek yang sedang atau akan dijalani, mendefinisikan outline strategi, kemudian menciptakan sederet perintah yang efektif kepada mesin (AI). Setelah itu, manusia harus dengan cakap menggunakan keluaran-keluaran dari mesin untuk melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pemangku kepentingan di dunia nyata, sekaligus pemecahan masalah kompleks.

Sebagai contoh, Anda ingin membuka bisnis baru. Di masa lalu, Anda mungkin harus bekerja ekstra keras untuk mengerjakan hampir seluruh aspek, atau merekrut konsultan dengan biaya selangit.

Namun sekarang, Anda bisa memberikan instruksi kepada AI. Dengan cepat, AI dapat menampilkan data yang Anda perlukan, sekaligus menuliskan beberapa bagian dalam proposal bisnis Anda, termasuk jenis bisnis dan lanskap kompetitor. Energi Anda bisa diarahkan pada konseptualisasi bisnis, komunikasi proposal bisnis kepada investor, serta penjualan kepada konsumen di dunia nyata.

Bagaimana Bangsa Indonesia Harus Menyikapi Manusia vs Mesin?
Kehadiran AI sudah tidak bisa ditolak lagi. Kini saatnya mengubah pola pikir dan kebijakan pendidikan menuju manusia sebagai mastermind, dan mesin sebagai pekerja-nya. Ke mana kita perlu bertransformasi?

Pertama, kita perlu merombak sistem pendidikan yang berorientasi akuisisi dan akumulasi pengetahuan. Ruang kelas harus menjadi ruang diskusi, debat dan laboratorium karya. Artinya, sekolah tidak bisa lagi berpikir menghasilkan siswa yang bisa menghafal dan menguasai teori semata. Justru, sekolah harus mendorong siswa untuk bisa mengkritisi teori, berdebat dengan nalar, dan menciptakan karya nyata dari apa yang dipelajari.

Kedua, peran guru sebagai garda terdepan pendidikan juga harus beralih dari pengajar menjadi pendidik. Apa bedanya? Pengajar hanya membantu siswa mengunduh isi buku secara massal. Sementara, pendidik mendewasakan peserta didik secara mental, intelektual, dan emosional. Pendidik tidak akan mengajarkan isi buku, melainkan cara belajar.

Ketiga, konten pembelajaran pun tidak lagi bisa menjadi monopoli dari sekolah maupun kampus. Konsep Kampus Merdeka (Merdeka Belajar) yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tinggi Nadiem Makarim perlu di-scale out secara masif. Peserta didik harus makin diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi dunia dan ilmu di luar kampus. Kecepatan perubahan di luar sekolah/kampus jauh lebih cepat dari kecepatan kurikulum dalam menyegarkan diri.

Catatan Penutup untuk Fenomena Manusia vs Mesin
Mesin seperti AI akan terus semakin canggih dan hadir dimana-mana. Namun, sejarah dapat menjadi sumber inspirasi dan pembelajaran untuk mempersiapkan masa depan. Dan, sejarah sudah menunjukkan bahwa manusia mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan terkait mesin dan teknologi.

Apakah AI menjadi suatu kesempatan atau tantangan bagi suatu bangsa tergantung pada penggunaannya yang bijaksana, etis, dan efektif oleh manusia, dan didukung suatu lanskap kebijakan pendidikan makro yang mumpuni. Ingat saja rumus untuk perdebatan manusia vs mesin: Manusia sebagai mastermind dan mesin sebagai pekerja-nya.

Recent Posts

Trilema Bakal Calon Presiden Indonesia 2024, Trilema Energi

Opini oleh Huud Alam, Enterprise Implementation Specialist di Zeroe dan Fellow di Global Future Fellows on Energy. Artikel pertama kali dipublikasikan oleh CNBC. Suasana jelang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 terasa semakin hangat. Masyarakat...

Towards an equitable EU–ASEAN green deal

Written by Brasukra G Sudjana, Vriens and Partners, and Cazadira F Tamzil, Pijar Foundation. Originally published in the East Asia Forum  The European Green Deal has caused concerns among emerging markets, especially ASEAN member states. The Green Deal is an array of...

Menciptakan Ekosistem Berkelanjutan bagi Cendekia-Wirausaha

Opini oleh Ruth Angela Christie Kirana, Manajer Program Lestari. Artikel dipublikasi pertama kali oleh CNBC. Jalan menuju Generasi Emas 2045 akan dipenuhi dengan disrupsi. Oleh karena itu, para pemikir muda yang berjiwa wirausaha sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan...